Jumat, 17 Juni 2011

k3 dalam dunia penerbangan


            K3 dalam dunia penerbangan
            Bandar udara (bandara) merupakan tempat bertemunya banyak orang dari segala penjuru dunia yang datang dan pergi dengan pesawat udara, dan juga tempat berkumpulnya banyak orang yang melakukan kegiatannya masing-masing untuk menunjang operasi penerbangan yang lancar, aman dan nyaman.
            Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization) , Airpot is a defined area on land or water (including any buildings, installations, and equipment) intended to be used either wholly or in part for arrival, departure, and movements of aircrafts. Menurut PT (persero) Angkasa Pura, bandar udara, ialah lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan yang merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi angkutan udara untuk masyarakat.
            Dengan perkembangan dunia penerbangan dan mobilitas manusia serta barang yang makin tinggi, maka fungsi bandara (bandar udara) makin bertambah penting. Di daerah-daerah penerbangan perintis, bandara masih sederhana, tetapi di kota-kota besar sudah berkembang menjadi besar dan canggih karena merupakan tempat bertemunya banyak orang dari segala penjuru dunia, dan tempat berkumpulnya banyak orang melakukan kegiatannya masing-masing untuk menunjang operasi penerbangan yang aman dan nyaman. Untuk itu dalam pengoperasiannya suatu bandara harus menyediakan fasilitas medik untuk dapat menanggulangi gawat darurat penerbangan, gawat darurat medik atau gangguan kesehatan lainnya. Lagi pula untuk memberi kemudahan pada calon penumpang dan pengunjung, di bandara disediakan kafetaria, restoran, coffee shop, duty free shop, kantor pos, bank, money changer dsb. Dan di bandara internasional selalu ada kantor/petugas C.I.Q. (Custom Immigration Quarantine).
            Akibat hal-hal di atas timbul masalah hygiene dan sanitasi di bandara yang harus ditangani sungguh-sungguh, sebab suatu bandara internasional adalah pintu gerbang suatu negara. Masalah hygiene dan sanitasi di bandara berhubungan erat dengan penyebaran penyakit menular dan juga dengan keselamatan penerbangan. Di samping masalah-masalah tersebut di atas, sering melalui bandara seorang pasien ingin berobat ke rumah sakit yang,besar di kota lain, bahkan ke luar negeri. Ini menimbulkan masalah, karena tidak semua orang sakit boleh diangkut dengan pesawat udara (pesawat dari airline).

Untuk membangun suatu bandar udara harus dipilih lokasi yang cocok. Lokasi ini harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu :
1. Dekat dengan sumber lalu lintas.
2. Bebas dari rintangan.
3. Masih tersedia lahan untuk perluasan/perpanjangan landasan.
4. Kecocokan medan di sekitarnya untuk pendaratan.
5. Kondisi metereologis.
6. Biaya konstruksi dan pemeliharaan.
7. Hubungannya dengan airways yang ada.
Kriteria-kriteria tersebut tidak selalu sama pentingnya, misalnya jarak dengan sumber traffic tidak begitu penting bila bandar udara yang akan dibangun nanti hanya untuk refueling atau untuk overnight stop (tidak menurunkan penumpang). Di samping kriteria tersebut juga perlu diperhatikan major sanitary conditions, yaitu :
1. Jaraknya ke pemukiman penduduk.
2. Jaraknya ke daerah nyamuk berkembang biak, terutama rawa atau genangan air yang tidak mengalir.
3. Keberadaan serangga, binatang-binatang kecil dan tikus.
4. Arah angin sepanjang tahun yang dapat membawa nyamuk dari tempat jauh.
5. Sifat persediaan air, terutama sumbernya, status kontaminasi dan debitnya yang cukup.
6. Dalamnya dan sifat permukaan air tanah.
7. Drainase daerah itu berlangsung secara alami atau melalui saluran buatan.
Semua masalah-masalah diatas harus dianalisis lebih dahulu sebelum pembangunan bandar udara dimulai, hal ini untuk mengindari kesulitan-kesulitan baru atau tambahan selama proses konstruksi bandar udara sedang berjalan. Juga perlu diperhatikan bahwa tidak semua penumpang itu sehat, tetapi ada orang cacat, orang tua, wanita hamil dan anak-anak. Maka dalam membangun suatu bandar udara harus dibuat fasilitas untuk orang-orang. Selain itu dalam pembangunan bandara harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan agar dapat memenuhi persyaratan K3
untuk menunjang operasi penerbangan yang lancar, aman dan nyaman. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya suatu gawat darurat penerbangan, gawat darurat medik, gawat darurat karena bencana alam atau suatu kecelakaan kerja. Masalah hygiene dan sanitasi di bandara harus diperhatikan dan ditangani sungguh-sungguh karena bandara adalah pintu gerbang suatu negara. Masalah yang juga penting di bandara adalah yang berhubungan dengan gangguan kesehatan karena lingkungan kerja yaitu karena bising, gelombang mikro, debu radioaktif dan sinar x, dan bahan-bahan kimia yang terdapat di bandara. Akhirnya masalah penanggulangan dan penyelidikan kecelakaan pesawat udara yang terjadi di bandara dan sekitarnya, dan selanjutnya sering melalui bandara diangkut penumpang yang sakit untuk berobat ke kota atau negara.lain semua ini perlu ditangani.
Masalah keselamatan kerja di bandara adalah menyangkut masalah tentang tenaga kerja dan orang lain yang berada di tempat kerja. Adapun potensi bahaya yang menyangkut tenaga kerja dan orang lain di bandara meliputi :



1. Gawat darurat yang melibatkan pesawat, yaitu :
a. Kecelakaan pesawat udara di bandar udara.
b. Kecelakaan pesawat udara di sekitar bandar udara.
c. Insiden pesawat udara dalam penerbangan.
d. Insiden pesawat udara di darat.
e. Sabotase, termasuk ancaman bom.
f. Pembajakan.
2. Gawat darurat yang tidak melibatkan pesawat yaitu :
a. Kebakaran bangunan.
b. Sabotase, termasuk ancaman bom.
c. Bencana alam.
d. Bahaya petir.
e. Bahaya listrik
3. Gawat darurat medik.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu adanya undang-undang yang menyangkut tentang keselamatan kerja yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1970 yang bertujuan untuk melindungi tenaga kerja dan setiap orang lain yang berada di dalam tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat. Selain itu, bandara harus mempunyai sertifikasi sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomer : KM 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara.
Pengendalian terhadap bahaya kebakaran juga harus di perhatikan. Menurut Permenaker RI No. Per. 04/MEN/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan. Dimana di dalamnya diatur tentang syarat pemasangan yang meliputi penggunaan apar yang sesuai dengan jenis kebakaran dan juga termasuk pemasangan alarm kebakaran yang mungkin timbul di bandara serta jalur penyelamatan seperti tangga darurat, koridor, pintu kebakaran, lift kebakaran, penerangan darurat dan penunjuk arah keluar, komunikasi darurat, sistem pengendalian asap.
Pengaturan seperti instalasi listrik dan instalasi petir harus disesuaikan dengan peraturan perundangan yang ada seperti Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep. 75/MEN/2002 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor : SNI-04-0225-2000 Mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (Puil 2000) di Tempat Kerja dengan tujuan :
1. Instalasi listrik dapat dioperasikan dengan baik.
2. Terjamin keselamatan manusia
3. Terjamin keselamatan instalasi listrik beserta perlengkapannya
.4. Terjamin keamanan gedung dan isinya terhadap kebakaran akibat listrik.
5. Terjamin perlindungan lingkungan.
Selain itu aspek kesehatan di bandara juga perlu mendapat perhatian. Karena banyak sekali faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada atau di sekitar bandara. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Bising.
2. Bahan kimia.
3. Debu atau bahan radioaktif.
4. Gelombang mikro dan sinar X.
5. Polusi udara.
Bising yang terdapat di bandara terutama berasal dari mesin pesawat yang mempunyai frekuensi tinggi dan intensitas besar, yaitu 90-110 dBA atau lebih. Menurut Kepmenaker No. Kep 51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja bahwa untuk NAB kebisingan adalah 85 dBA untuk pemajanan 8 jam sehari. Artinya tenaga kerja dapat bekerja dengan intensitas kebisingan sebesar 85 dBA maksimal hanya 8 jam. Sedangkan kebisingan di bandara yang mencapai 90-100 dBA hanya boleh di alami tenaga kerja maksimal selama 2 jam. Untuk itu tenaga kerja harus memakai alat pelindung diri, karena intensitas pekerjaan hampir selama 24 jam.
Akibat bising yang paling penting adalah menurunnya pendengaran dan dapat terjadi tuli permanen (sensoric deafness). Hampir 15% dari awak darat airline mengalami gangguan ini secara tak langsung. Dalam hubungannya dengan pesawat tersebut karyawan dibagi dalam golongan, yaitu :
1. Golongan I : Mereka yang bekerja dekat sekali dengan pesawat (kurang dari 8 meter) selama runs up.
2. Golongan II : Mereka yang relatif dekat (8 – 50 m) pesawat, misalnya maintenance personnel, starting crew, dan trouble line personnel.
3. Golongan lII : Mereka yang kadang-kadang harus bekerja tidak jauh dari pesawat (50 – 120 m), misalnya pramugari darat, personel kargo, dsb.
Menurut tingkatan bising (noise level) daerah sekitar pesawat dibagi menjadi 4 zone yaitu :
1. Zone A : Daerah dengan tingkatan bising antara 150 dB. Zone ini jangan dimasuki sama sekali.
2. Zone B : Daerah dengan tingkatan bising antara 135 – 150 dB. Di daerah ini orang harus berusaha sesingkat mungkin dan harus memakai ear muff.
3. Zone C : Daerah dengan tingkatan bising antara 115 – 135 dB. Semua orang yang bekerja di sini harus memakai ear muff. Bila hanya sebentar boleh memakai ear plug.
4. Zone D : Daerah dengan tingkatan bising antara 100 – 115 dB. Mereka yang bekerja di sini harus mekakai ear plug terus menerus.
Untuk mencegah/mengurangi akibat gangguan bising perlu dilakukan Hearing Conservation Program, dengan cara :
1. Pemeriksaan audiometris secara berkala pada karyawan tersebut di atas.
2. Dilakukan usaha-usaha pencegahannya, di antaranya ialah memakai :
a. Helmet : Dipakai bila bekerja dekat sekali dengan pesawat yang run-up. Diperkirakan sebagian bising diserap oleh tulang-tulang kepala, jadi perlu helmet.
b. Ear muff : Dibuat dari plastik atau karet dengan ukuran small, medium dan large.
c. Golongan I memakai helmet dan ear plug.
d. Golongan II memakai ear muff.
e. Golongan III cukup memakai ear plug.
Dalam pemeriksaan audiometri, dibuat Base Line Audiogram untuk frekuensi 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 c/s, yang terpenting adalah frekuensi 500, 1000, dan 2000 c/s. Bila ada seorang dengan hearing loss 15 dB atau lebih, perlu dibuat audiogram ulangan setelah 48 jam bebas dari bising. Pemeriksaan audiometris secara berkala pada karyawan yang terpapar bising, dilakukan tiap 2 – 4 tahun sekali.
Para tenaga kerja atau karyawan di darat juga dihadapkan pada bahan kimia, seperti bahan bakar (bensin, bensol, avtur) minyak hidrolik, larutan desinfektans, insektisida dsb. Bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan dermatitis kontak, dan bila tertelan atau terhirup dapat terjadi intoksikasi yang membahayakan. Oleh karena itu perlu dicegah dengan cara :
1. Memakai sarung tangan dan pakaian kerja, bila perlu masker.
2. Disediakan tempat cuci tangan, kamar mandi dan kamar ganti pakaian.
3. Ventilasi kerja harus baik.
4. Penyuluhan tentang kesehatan kerja.
5. Pemeriksaan kesehatan berkala (1 – 2 tahun sekali).
Selain itu perlu juga diketahui nilai ambang batas bahan kimia yang diperbolehkan sebagai upaya pengendalian. Peraturan yang mengatur tentang bahan kimia adalah SE Menaker No. SE 01/MEN/1997 tentang NAB faktor kimia di udara lingkungan kerja dan juga Kepmenaker No. KEP 187/MEN/1999 tentang pengendalian bahan kima berbahaya di tempat kerja. Di dalamnya diatur tentang Nilai Ambang Batas bahan kimia dan juga mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja, akibat penggunaan bahan kimia berbahaya di tempat kerja maka perlu diatur pengendaliannya.
Dalam pengoperasian radar digunakan gelombang mikro dan sinar X. Gangguan yang ditimbulkan gelombang ini akan dirasakan terutama oleh teknisi radar, jarang pada operator radar. Gelombang mikro dapat merusak lensa mata dan terjadilah katarak, atau dapat juga merusak kelenjar testis, akibatnya adalah kemandulan. Oleh karena hal-hal tersebut perlu dilakukan usaha pencegahannya. Dalam Kepmenaker No. Kep 51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja menyatakan bahwa NAB untuk gelombang mikro .
Sinar X juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan, yaitu dapat menyebabkan mutasi gen, munculnya kanker dan lain sebagainya. Dalam penanganannya, ada beberapa cara yaitu :
1. Mengatur waktu pemajanan dengan memberikan jam istirahat.
2. Isolasi sumber sinar X.
3. Bekerja dengan menggunakan remote control.
4. Tenaga kerja harus menggunakan APD.
Petugas ground handling kadang-kadang harus menangani muatan yang berisi bahan radioaktif. Bila terjadi kebocoran dalam pengepakan dapat membahayakan sekitarnya. Dan pesawat udara secara berkala diperiksa untuk mengetahui keretakan pada bagian-bagiannya. Kedua radiasi ini dapat membahayakan kesehatan dan perlu dilakukan usaha pencegahannya. Polusi udara terjadi karena asap yang keluar dari mesin pesawat, kendaraan ground handling, dan mobil yang lalu lalang. Juga hembusan yang kuat (jet blast) yang keluar dari exhaust pesawat menyebabkan debu beterbangan; ini akan menambah tingkat polusi yang sudah ada. Untuk itu perlu usaha pencegahan yaitu :
1. Pemakaian masker.
2. Sarung tangan.
3. Baju pelindung.
4. Penyuluhan kesehatan bagi tenaga kerja.
Masalah hygiene dan sanitasi di bandara juga perlu di perhatikan sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pemeliharaan dan peningkatan hygiene dan sanitasi di bandar udara akan menyangkut empat masalah,yaitu :
1. Penyediaan air (water supply).
2. Kebersihan makanan (food hygiene).
3. Pembuangan sampah dan kotoran (waste disposal).
4. Pemberantasan serangga/binatang yang dapat menularkan penyakit (vector control).
Hygiene dan sanitasi di bandar udara harus ditangani dengan sungguh-sungguh, karena bila tidak, dapat membahayakan keselamatan penerbangan dan orang lain di lingkungan bandara..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar